UN: UJI OTAK DAN WATAK
Oleh:Andri F Gultom
Di sela-sela deru kesibukan menjelang Ujian Nasional (UN), terselip dua masalah urgen yang mendasar menyangkut kualitas pendidikan Indonesia. Yang pertama bahwa UN adalah momen uji otak, terutama kemampuan akademis. Tentunya, bagi peserta UN, momen tersebut cukup melelahkan dan menguras otak. Aneka persiapan, mulai dari pengayaan materi, pembahasan & latihan soal, sampai try-out pun sudah dijalani. Bagi pelajar pada jenjang SD, SMP, SMA dan SMK sederajat, ujian menjadi ajang pembuktian dari proses belajar.
Urgensi kedua yaitu momen UN tahun ini menjadi tantangan untuk bertindak jujur. Bertindak jujur, bukan hanya bagi peserta UN, tetapi juga bagi guru, pengawas UN, kepala sekolah, serta dinas pendidikan. Mengapa? Karena secara mendasar, nilai kejujuran perlu dikedepankan sebagai pilar utama pembangunan karakter dalam upaya memajukan anak bangsa. Maka, mendidik anak untuk lulus UN saja tidak cukup. Tetapi, pendidikan merupakan proses mengembangkan diri mereka menjadi manusia berdimensi baik, bermoral dan jujur. Dalam konteks UN, dimensi-dimensi tersebut mengadung permasalahan.
Masalahnya, cacat terbesar UN adalah penekanan pada kemampuan asah otak saja. Akibatnya, UN rentan dengan kecurangan seperti tindak contek-menyontek, pemberian kunci jawaban dengan adanya kongkalikong pengawas monitoring dengan pihak sekolah sehingga mereduksi UN pada target kelulusan mutlak dengan mengabaikan kejujuran. Fenomena ini seakan bukan menjadi rahasia lagi.
Menakutkan dan Meresahkan
UN diadakan pada dasarnya untuk mengukur ketuntasan siswa dalam belajar. Peran ujian di akhir masa belajar memang menjadi hal yang sangat penting. Dalam hal ini, pemerintah telah memfasilitasinya dengan menyelenggarakan UN. Selain itu, UN juga sebagai instrumen standar penilaian dan kelulusan yang diperlukan suatu negara dalam mengukur dan mengevaluasi kualitas pendidikan dalam kancah internasional.
Namun, kenyataannya berbeda. UN menjadi menakutkan sekaligus meresahkan. Menakutkan, oleh karena siswa, jika tidak lulus, maka tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Secara kuantitatif peserta UN di provinsi Jawa Tengah, menurut daftar nominasi tetap mencapai 1.396.017 siswa. Jika target kelulusan hanya mencapai 80 %, maka jumlah yang tidak lulus sebesar 279.203 siswa. Bisa kita bayangkan, mereka yang tidak lulus akan mengalami gangguan psikologis seperti: malu, merasa terkucil, pikiran kacau, dan bisa jadi stress.
Penting juga diingat, UN tahun ini tidak sama dengan UN tahun lalu. Perbedaannya yaitu pertama, tahun ini tidak ada ujian ulang, sehingga siswa yang tidak lulus harus mengulang di tahun berikutnya. Kedua, nilai akhir adalah nilai gabungan rapor digabung dengan nilai Ujian Sekolah dengan rata-rata nilai UN 5,50. Dan rata-rata gabungan dengan nilai Ujian Sekolah setiap mapel 4,00. Ketiga, pelaksanaan UN tidak lagi menggunakan dua paket soal, melainkan lima paket soal. Inilah yang menjadikan UN menjadi momok menakutkan bagi peserta UN.
UN menjadi meresahkan, oleh karena pihak-pihak seperti: kepala sekolah, guru mata ujian, orang tua dan bahkan pengelola pendidikan (dinas pendidikan kabupaten/kota) akan juga bertanggung jawab atas hasil UN. Keresahan juga terasa di kota Solo. Disdikpora Solo melakukan penjagaan ketat proses distribusi soal UN dengan melibatkan Kemenag, pengawas sekolah dan kepolisian. Keterlibatan tersebut dilakukan untuk menjamin naskah soal UN dari kebocoran dan kerusakan (Solopos, 12/4/2011).
Keresahan lain yang ingin dicapai adalah peserta UN ditarget lulus 100 %. Jika tidak tercapai maka, logika instan bisa dilakukan dengan upaya tambal sulam (dan mendongkrak) nilai ujian sekolah sebagai indikator nilai kelulusan UN. Lantas, apakah upaya-upaya manipulatif rasional itu yang ingin dicapai dalam UN? Lalu, dimanakah posisi pendidikan karakter (character building) dalam grand design pendidikan Indonesia? Beranikah pihak-pihak tersebut mengedepankan kejujuran dengan menerima aib, reputasi buruk jika banyak jumlah peserta UN yang tidak lulus?
Pendidikan Karakter dan UN
Selama ini pendidikan kita harus diakui masih terjebak pada pandangan dan praktek yang kurang membangun ruang pembelajaran yang bisa memperkaya nilai-nilai kejujuran. Dengan demikian, sistem dan praktek pendidikan karakter di negeri kita tidak gampang terlaksana.
Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character (1991) menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Dalam konteks UN, gagasan Lickona menekankan pada bentuk karakter untuk mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakini benar, bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Dari sini, UN dimengerti sebagai sarana untuk mengukur dan menerapkan kejujuran.
Pertautan antara otak dan watak sangat penting diterapkan dalam UN. Kemampuan otak mesti diimbangi dengan kejujuran sebagai bagian dari watak. Adalah benar bahwa otak dan watak yang benar menjadi prasyarat bagi tindakan kejujuran. Tidak seorang pun yang dapat bertindak atas dasar prinsip moral dan jujur atau aturan tanpa terlebih dahulu memiliki kesadaran tentang hal itu.
UN adalah saat yang baik untuk siswa, kepala sekolah, guru, orang tua dan dinas pendidikan untuk menampilkan “kinclong”-nya jati diri mereka. Kepintaran dan kepiawaian mengerjakan soal, kinerja para guru dan kepala sekolah, motivasi orang tua, tindak monitoring dan supervisi dinas pendidikan tidak lantas menjadikan UN bebas dari masalah. Maka, setiap pribadi perlu meninjau kembali personal truth-nya, yakni menempatkan UN tidak hanya sekedar ujian untuk mengukur prestasi akademis, tetapi juga untuk mengukur kejujuran. Bisakah kita mewujudkannya?