Total Tayangan Halaman

Mengenai Saya

Foto saya
"Qui seminant in lacrimis, in exsultatione metent" (Yang menabur dengan bercucur air mata, dia akan menuai dengan sukacita)
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Koleksi Terbaru Kami

Memfilter Budaya, Membudayakan Filtering 

(Refleksi Kultural tentang Pengaruh Budaya Korea di Indonesia)




I. PENDAHULUAN 

Derasnya arus globalisasi berdampak bagi dimensi-dimensi kehidupan manusia. Fenomena global tersebut seakan merupakan hal ihwal yang tak terhindarkan. Timbul konsekuensi-konsekuensi logis dan psikologis bagi hubungan intersubjektivitas, bahkan inter-state. Dalam fenomen itu, dimensi ekonomi, sosial, politik, dan terutama budaya bisa jadi tercampur-baur, sehingga memunculkan pertanyaan kultural, adakah budaya asli dari suatu negara-bangsa? Kalau pun ada, budaya tersebut terkadang membawa pada percampuran dan perpaduan antar etnis satu dengan yang lainnya, yang bisa jadi memiliki kemiripan dengan negara-negara tetangnya. Misalnya, etnis Melayu di Riau memiliki tautan budaya dengan etnis Melayu di Malaysia. 

Pola gaya hidup modernitas dalam budaya kontemporer pun menjadi kajian menarik, misalnya kebiasaan berbusana kaum remaja yang didominasi budaya Korea. Momen ini membuat para remaja tersebut didera “budaya ikut-ikutan” pada tren, dan ini juga yang mengakibatkan sakit budaya. Dampak inilah dibawa oleh globalisasi, yang berarti proses masuk dan meluasnya pengaruh dari suatu wilayah/negara ke wilayah/negara lain dan atau proses masuknya suatu negara dalam pergaulan dunia yang sebelumnya terbatas jangkauannya menjadi tidak terbatas pada suatu negara (borderless). Globalisasi masuk dalam budaya melalui media TV dan internet. 

Tulisan ini akan mencoba mengkaji hubungan komparatif antara budaya Korea dan budaya Indonesia. Dari pemahaman ini, penulis akan menjadikan objek materi tulisan ini adalah budaya Korea dan objek formalnya yaitu filsafat kebudayaan. Maka, ada tiga bahasan yang akan penulis jawab, (1). Bagaimana budaya Korea dan perkembangannya hingga sampai ke Indonesia? (2). Apa itu budaya filtering itu apa? Pada bagian ini, penulis akan berupaya menjelaskan upaya manusia Indonesia (pribumi) memfilter budaya asing? (3). Bagian penutup akan menjelaskan sari-sari pengetahuan tentang pentingnya budaya Indonesia dan kemampuan bangsa untuk memfilter budaya asing. 

II. PEMBAHASAN

Pada bab kedua ini, penulis akan membahas tentang perkembangan budaya Korea. Hal menarik dari budaya Korea adalah kemampuan mereka sebagai entitas bangsa yang terus-menerus bertahan dalam situasi chaotic baik disebabkan karena penjajahan Jepang ataupun oleh pemisahan daratan Korea menjadi dua bagian, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Untuk itu, pembahasan pada bab ini adalah Korea Selatan yang akan menjadi core pemikiran penulis, dan kemudian penulis akan mencoba melakukan tafsir dengan pendekatan filsafat kebudayaan. 

2.1. Budaya Korea dan Perkembangannya hingga sampai ke Indonesia
Prof. Joko Suryo, seorang sejarawan Indonesia, dalam kata pengantarnya dalam buku “Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer” (2003) menuliskan, 

“Korea sebuah negara kecil yang terpencil di bagian utara Asia Timur, tidak banyak dikenal Indonesia sampai awal tahun 70-an lalu. Akan tetapi, dalam waktu tiga dasawarsa belakangan ini, negara yang tidak terlalu luas wilayahnya tersebut dengan jumlah penduduknya yang cukup banyak dan sama sekali tidak memiliki sumber-sumber alam yang penting ini, tiba-tiba tampil sebagai salah satu negara penting di mata masyarakat Indonesia.”  

Joko Suryo memberikan tautan yang cukup erat antara Korea dan Indonesia dalam tinjauan ekonomi dan politik-diplomatik internasional. “Hubungan perdagangan antara Indonesia-Korea”, demikian tulis Joko Suryo, “ditandai dengan posisi masing-masing negara yang menjadi salah satu negara terpenting ke-5 di bidang perdaganagan”.  Sedangkan dalam bidang politik-diplomatik, Indonesia memiliki peran dalam proses reunifikasi Korea. 

Sejak kemerdekaannya yang kurang lebih 60 tahun terakhir ini, Republik Korea berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan memberi kesempatan untuk menjadi negara maju. Berkat keberhasilannya dalam mengembangkan perindustrian nasional, Republik Korea berhasil menduduki urutan ke-11 sebagai negara perdagangan terbesar di dunia.  Kemajuan tersebut mendorong kebudayaan Korea untuk berkembang menjadi kebudayaan internasional. Bidang pendidikan terus ditingkatkan dengan didasarkan pada pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Olimpiade Seoul 1988 dan Piala Dunia tahun 2002 merupakan kesempatan yang sangat baik bagi bangsa Korea untuk menunjukkan kemampuan seni budayanya kepada dunia internasional. 

Dari hubungan kedua negara ini muncul pertanyaan, mengapa negara Korea bisa lebih bertumbuh (maju) dibandingkan dengan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga alasan, pertama adanya pemacuan rencana pengembangan ekonomi. dengan penyebaran gerakan Sae-maul  dan ekspansi perusahaan serta pertumbuhan masyarakat Korea di luar negeri. Kedua, peningkatan pendidikan nasional. Hal ini ditandai dengan angka rasio buta huruf yang tercatat hampir 0 (nol) persen. Selain itu, di Korea dikembangkan penelitian ilmiah khusunya dalam bidang ilmu bahasa Korea, kesusasteraan dan sejarah Korea. 

Modus ilmiah dalam pendidikan yang dilakukan bangsa Korea adalah melakukan mimesis (peniruan) ilmu pada bangsa Barat. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah pelajar Korea pergi ke luar negeri untuk studi, dan setelah kembali ke tanah Korea, mereka membawa teori ilmiah yang baru dan pengetahuan mutakhir untuk membangun bangsanya.  

Alasan ketiga, aktivitas kegiatan keagamaan dan kesenian. Sistem demokrasi Korea Selatan menjamin kebebasan beragama dan aktivitas seni budaya. Sebagai salah satu contoh dalam bidang kebudayaan, bangsa Korea sangat tertarik pada kesusasteraan, lukisan, musik, arsitektur, dan kecintaan pada bahasa Korea. Kebudayaan inilah yang menjadi titik penting bangsa Korea dalam menghembuskan pengaruh budaya yang dibawa lewat globalisasi dan modernitas bagi Indonesia, termasuk gaya ataupun pola hidupnya.

Menurut pengamatan penulis, negara Korea bisa mengembangkan budayanya adalah dengan proses menemukan kembali akar-akar kebudayaannya, yaitu bahasa. Selain itu, mereka mengembangkan local genius dalam orientasi keterbukaan ke luar, outward looking philosophy, yaitu yang diarahkan kepada dunia serta masyarakat luar dan merealisasikan orientasi itu dalam bentuk kerja keras dan tekun sehingga terwujud secara riil dalam produksi. 

Di samping itu, orientasi ke luar dengan disiplin kerja yang tinggi itu diperkuat dengan nilai dasar kebersamaan yang kuat dalam tradisi mereka sehingga proses modernisasi yang mereka lakukan didukung oleh masyarakat banyak dalam bentuk solidaritas serta partisipasi nasional. 

2.2. Budaya Filtering

Derasnya pengaruh budaya Korea bagi masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja jelas membawa keprihatinan, fenomen hallyu, misalnya terasa tidak asing lagi bagi para penikmat K-Pop (budaya populer asal Korea Selatan). Hallyu atau gelombang budaya dari Korea Selatan (dalam tulisan ini selanjutnya disebut Korea saja) sangat terasa di kehidupan generasi muda saat ini. Anak muda di negeri ini seakan terhipnotis oleh K-Pop. Secara instan menjamur boyband dan girlband Indonesia di panggung-panggung hiburan. 

Salah satu bukti anak muda Indonesia terjangkit K-Pop, dengan dibanjirinya antrean penjualan tiket konser boyband asal Korea, Super Junior, oleh anak muda kita yang dikabarkan tiket sudah ludes terjual.  Lidah para remaja lincah melafalkan bahasa Korea dari setiap lirik lagu K-Pop. Akibatnya banyak remaja berminat belajar bahasa Korea secara intensif. Fashion dan penampilan gaya Korea memiliki banyak pengikut di Indonesia. Gelombang Korea di Indonesia diawali masuknya berbagai drama Korea di layar televisi tiap rumah tangga. Namun, yang paling terasa ledakannya adalah keberadaan boyband dan girlband Korea yang mampu meneguhkan budaya mereka bersama arus globalisasi. 

Untuk merespon fenomen di atas, apa yang bisa kita lakukan? Upaya yang bisa kita lakukan adalah melakukan budaya filtering. Budaya filtering yang dimaksud adalah kemampuan kognitif manusia Indonesia untuk menyaring nilai-nilai dari budaya yang masuk dan dominan mempengaruhi cara hidup suatu bangsa. 

Penulis merasa bahwa ide budaya filtering tidak cukup, karena mesti pula dibarengi dengan pernyataan kultural yakni “Memfilter Budaya, Membudayakan Filtering”. Ada dua bagian yang bisa dijelaskan dari pernyataan tersebut, pertama perihal “memfilter budaya” dan kedua, “membudayakan (tepatnya, sistem) filtering”. Memfilter budaya adalah upaya yang dilakukan bangsa (dengan segenap diri pribadi) untuk menyaring budaya lewat menepakan sistem pendidikan berbasis kritisisme. Kata kritisisme bukan bermakna negatif tapi, ada upaya pendidikan yang lebih mengedepankan rasio agar perilaku dan cara hidup para pelajar remaja tidak melulu ikut-ikutan tren budaya luar. 

Hal tentang “membudayakan filtering” berarti ada upaya untuk membiasakan pada bangsa untuk menerapkan sistem penyaringan budaya lewat menggali kembali kekayaan-kekayaan budaya bangsa Indonesia untuk lebih dicintai ketimbang budaya bangsa lain. Upaya ini sangat mungkin berhasil jika menggandeng pemerintah dalam tingkat praksisnya. Di tingkat kebijakan publik, misalnya pemerintah Indonesia bisa mengambil kebijakan penggunaan kain tenun bagi kaum remaja dan para pekerja Indonesia. Kekayaan budaya tenun di Indonesia bisa digerakkan dengan upaya bidang mikro ekonomi dan diterapkan dalam hidup sehari-hari bagi bangsa Indonesia. 

III. PENUTUP

Perkembangan kebudayaan sudah semestinya tidak mengasingkan manusia dari kemanusiaanya, melainkan dalam rangka meninggikan peran kemanusiaan dalam hidup manusiawi. Atau dengan kata lain, proses kebudayaan mestinya dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karenanya tidaklah relevan bila perkembangan akal budi manusia dengan perkembangan ilmu dan teknologinya justru merusak kehidupan manu.sia karena merusak kehidupan manusia berarti menyerang perkembangan kebudayaan manusia dan merendahkan harkat dan martabat manusia yang semestinya bersifat menjadikan manusia lebih bersifat manusiawi.

Daftar Pustaka


Ayatrohaedi (penyunting). 1986. “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)”. Jakarta: Pustaka Jaya

Seung-Yoon, Yang dan Nur Aini Setiawati. 2003. “Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer”. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Tiyas Nur Haryani. 2012. “Hallu Menantang Indonesia” di laman http://www.solopos.com/2012/kolom/hallyu-menantang-indonesia-177477 diakses 4/11/2012

Harian Solopos pada edisi 7/4/2012

Lihat Detail

ORANG MUDA DAN SENIOKRASI

Provokasi Mengapa Yang Muda Sulit Eksis?


Oleh: Andri F Gultom* 

Untuk memulai memahami wacana mengenai persinggungan antara orang muda dan seniokrasi, agaknya kita akan menemui penelusuran yang relatif sulit. Dikatakan relatif sulit, oleh karena pertama, berawal dari kesalahpahaman yang berlarut-larut dalam warisan pedagogi paternalistik. Kedua, pengukuhan stereotyping para pelaku seniokrasi (sebut saja senior) terhadap orang muda (yang dianggap junior) yang tidak seimbang. Untuk itu, ijinkan saya menjelaskan secara sederhana apa itu seniokrasi. 

Seniokrasi adalah kekuasaan yang agaknya tampak jelas dalam pola struktural hierarkis. Para pelakunya bisa disebut dengan istilah: senior, tuan, yang tua, atasan, dan sebagainya. Para senior tersebut bisa menampakkan wujud kuasanya dengan sangat halus (dan bisa pula kasar) untuk meng-counter orang-orang muda karena dianggap rival yang bakal menggeser posisi “kursi” mereka. Dalam pandangan tersebut, para senior adalah aktor-aktor yang mendramatisir situasi dengan berhasrat membelokkan rel kuasa ke dalam koridor primordial suku, agama, clan, warna kulit, golongan, dan sebagainya. Situasi ini, kalau terus dirawat, entah sampai kapan bangsa ini akan maju. Imperialisme bisa jadi mewariskan pola seniokrasi. Memahami dan merasakan seniokrasi ibarat memasuki sumur hasrat tanpa dasar. 

Tuan senior merasa bertanggung jawab mengajar apa arti hidup bagi orang-orang muda. Maklum aja, katanya, mereka adalah orang-orang yang sudah banyak “makan garam” kehidupan. Berbarengan dengan itu, muncul pula adagium narsistik, “Yang tualah yang bisa.” Padahal kita sekarang hidup di alamnya demokrasi. Mestinya kita memperlakukan sama semua warga negara, baik orang muda, setengah tua, maupun golongan tua di muka hukum, pendidikan, dan sosial. Tetapi karena kita tetap menjunjung tinggi budaya leluhur yang jelas-jelas feodal, otoriter, etatik, kastaistik, dan sentripetal, maka demokrasi hanya menjadi ”pemanis bibir” yang isi sesungguhnya berakar pada ajaran lama. 

Deadlock 
Sampai di sini, saya perlu mengajukan pertanyaan, mengapa orang muda menjadi komoditas kecurigaan yang perlu diwaspadai para senior? Jawaban yang mungkin yaitu karena, para senior mengukuhkan stereotyping terhadap orang muda dengan tidak seimbang. Mereka mengukuhkan citra dominan kekuasaan atau tirani senioritas atas orang muda khususnya dalam birokrasi dan dunia kerja. Unsur senioritas pada akhirnya menjadi latar untuk meminggirkan orang-orang muda. Dalam konteks ini, istilah “orang muda” yang saya maksud adalah mereka yang tidak menggunakan mental menerabas, tetapi intelek sekaligus santun, berpikir idealis, berjiwa survival, dan berprestasi. Di sinilah posisi orang muda sebagai entitas sosial mengalami deadlock dengan seniokrasi. 

Seniokrasi seakan berfungsi menjadi tirai yang menghalangi pengetahuan dan kesadaran akan kemampuan orang muda. Tirai ini terkuak dan terlampaui dalam suatu pengalaman traumatis yang menghasilkan kesadaran lewat sikap merendahkan. Si tua menganggap si muda kurang mampu, karena minim pengalaman. Sedangkan, si muda melihat si tua sudah tak mampu, karena dimakan usia. Kesadaran ini bersama-sama menjadi kesadaran rivalistis. Sama-sama berperan antagonis. Keduanya deadlock yang artinya menemukan konfrontasi bersama dalam kenyataan, berupaya menang dan saling mencurigai yang nantinya, dalam istilah filsafat, berujung pada satu entitas yakni keterasingan (alienasi). 

Orang muda teralienasi di hadapan seniokrasi. Titik persinggungan terpentingnya di sini adalah bagaimana memahami entitas orang muda dan senior, atau lebih tepatnya antagonisme yang mendefinisikan relasi antara kedua entitas tersebut untuk merealisasikan kepenuhannya masing-masing. Kepenuhan dalam pandangan orang muda dipahami lewat identitas yang tidak hilang yang bisa dijelaskan dengan tidak meninggalkan budaya kritis logis walaupun mereka berkiblat pada arus Barat. Mereka sesekali makan burger di McDonals, tetapi juga menonton wayang kulit, berdiskusi ihwal nasionalisme di angkringan, dan mungkin juga mendengarkan musik dangdut. Mereka menonton film-film produksi Hollywood, tetapi juga menonton film Life is Beautiful yang mengambil latar Italia di bawah kekuasan pemerintah fasis Mussolini, atau juga terinspirasi pada perjuangan revolusioner Che Guevara. Singkatnya, mereka larut, tapi tidak hanyut! 

Dalam domain alienasi, pemahaman senior terhadap orang muda adalah sebuah kegagalan dalam mentransfer kemungkinan prestasi melampaui usia. Akar masalahnya, para senior (yang tua) adalah konstruksi atau bentukan yang terjadi dalam warisan pedagodi paternalistik. Maksudnya, yang tua mewariskan ajaran tradisional bahwa yang muda harus hormat sekaligus tunduk pada orang yang lebih tua. Sederhananya, warisan ke-bapak-an membentuk pemahaman kaku yang menunjuk pada operasi relasi sosial. Padahal, pemahaman ini sudah anakronistik atau ketinggalan zaman. Dalam filsafat pendidikan, dengan belajar dan bersosialisasi, orang muda dapat berpartisipasi aktif dan mampu melakukan kritik atas ajaran ajaran lama yang diwariskan. Leviathan Bergerombol Seniokrasi, kalau boleh saya menganalogikannya, seperti “Pack Leviathan” (Leviathan bergerombol). Mereka bergerombol, bergotong royong, dan rela meng-kloning Leviathan, sosok rekaan Thomas Hobbes untuk membumikan gagasan-gagasan haus kuasa, yang istilah diperhalusnya, “demi kemajuan kita.” Pantas saja, kalau pelaku-pelaku seniokrasi menyuarakan budaya lama yang itu-itu juga. Orang sana bilang, “The old wine in the new bottle,” anggur tua di botol baru. 

Bagaimana bisa keluar dari pandangan seniokrasi? Salah satu jawaban ialah meritokrasi. Meritokrasi merupakan sistem yang mengandalkan prestasi (merit), keandalan kinerja, dan potensi insani dengan memuliakan ragam inteligensi manusia. Meritokrasi tidak bisa mengandalkan pada keturunan seperti dalam aristokrasi; tidak juga pada kekayaan bawaan seperti dalam plutokrasi; ataupun pada kemapanan usia dalam seniokrasi. Jadi, meritokrasi adalah solusi atas kelembaman kepemimpinan guna meningkatkan daya saing bangsa. Maka, keberadaan orang muda dalam dunia kerja ataupun dalam birokrasi didasarkan pada meritokrasi. 

Meritokrasi menghilangkan diskriminasi yang berdasarkan kedekatan garis keturunan, persahabatan, senioritas, kepemimpinan manipulatif, dan sebagainya. Dari sini, meritokrasi memberi ruang bagi tumbuhnya demokrasi seperti kebebasan berkreasi, kemampuan berprestasi, kinerja yang bermutu dan kompetensi bagi orang muda. Untuk mewujudkannya, diperlukan keberanian sipil (civil courage) untuk memutus siklus diskriminatif ἁla Leviathan bergerombol. Keberanian sipil adalah keberanian semua orang muda untuk menyuarakan kebenaran dengan berpikir kritis dan bertindak logis terhadap segala bentuk praktek kuasa yang salah di Indonesia. Memang awalnya kebenaran itu menyakitkan. Akan tetapi kebenaran memiliki kekuatan yang membebaskan. Hai, orang muda beranikah kita? 


*Guru SMAN 8 Surakarta dan Peminat Filsafat Pendidikan


(Ilustrasi gambar dari nathannothinsez.blogspot.com)

Lihat Detail

UN: UJI OTAK DAN WATAK


Oleh:Andri F Gultom

Di sela-sela deru kesibukan menjelang Ujian Nasional (UN), terselip dua masalah urgen yang mendasar menyangkut kualitas pendidikan Indonesia. Yang pertama bahwa UN adalah momen uji otak, terutama kemampuan akademis. Tentunya, bagi peserta UN, momen tersebut cukup melelahkan dan menguras otak. Aneka persiapan, mulai dari pengayaan materi, pembahasan & latihan soal, sampai try-out pun sudah dijalani. Bagi pelajar pada jenjang SD, SMP, SMA dan SMK sederajat, ujian menjadi ajang pembuktian dari proses belajar.

Urgensi kedua yaitu momen UN tahun ini menjadi tantangan untuk bertindak jujur. Bertindak jujur, bukan hanya bagi peserta UN, tetapi juga bagi guru, pengawas UN, kepala sekolah, serta dinas pendidikan. Mengapa? Karena secara mendasar, nilai kejujuran perlu dikedepankan sebagai pilar utama pembangunan karakter dalam upaya memajukan anak bangsa. Maka, mendidik anak untuk lulus UN saja tidak cukup. Tetapi, pendidikan merupakan proses mengembangkan diri mereka menjadi manusia berdimensi baik, bermoral dan jujur. Dalam konteks UN, dimensi-dimensi tersebut mengadung permasalahan.

Masalahnya, cacat terbesar UN adalah penekanan pada kemampuan asah otak saja. Akibatnya, UN rentan dengan kecurangan seperti tindak contek-menyontek, pemberian kunci jawaban dengan adanya kongkalikong pengawas monitoring dengan pihak sekolah sehingga mereduksi UN pada target kelulusan mutlak dengan mengabaikan kejujuran. Fenomena ini seakan bukan menjadi rahasia lagi.

Menakutkan dan Meresahkan
UN diadakan pada dasarnya untuk mengukur ketuntasan siswa dalam belajar. Peran ujian di akhir masa belajar memang menjadi hal yang sangat penting. Dalam hal ini, pemerintah telah memfasilitasinya dengan menyelenggarakan UN. Selain itu, UN juga sebagai instrumen standar penilaian dan kelulusan yang diperlukan suatu negara dalam mengukur dan mengevaluasi kualitas pendidikan dalam kancah internasional.

Namun, kenyataannya berbeda. UN menjadi menakutkan sekaligus meresahkan. Menakutkan, oleh karena siswa, jika tidak lulus, maka tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Secara kuantitatif peserta UN di provinsi Jawa Tengah, menurut daftar nominasi tetap mencapai 1.396.017 siswa. Jika target kelulusan hanya mencapai 80 %, maka jumlah yang tidak lulus sebesar 279.203 siswa. Bisa kita bayangkan, mereka yang tidak lulus akan mengalami gangguan psikologis seperti: malu, merasa terkucil, pikiran kacau, dan bisa jadi stress.

Penting juga diingat, UN tahun ini tidak sama dengan UN tahun lalu. Perbedaannya yaitu pertama, tahun ini tidak ada ujian ulang, sehingga siswa yang tidak lulus harus mengulang di tahun berikutnya. Kedua, nilai akhir adalah nilai gabungan rapor digabung dengan nilai Ujian Sekolah dengan rata-rata nilai UN 5,50. Dan rata-rata gabungan dengan nilai Ujian Sekolah setiap mapel 4,00. Ketiga, pelaksanaan UN tidak lagi menggunakan dua paket soal, melainkan lima paket soal. Inilah yang menjadikan UN menjadi momok menakutkan bagi peserta UN.

UN menjadi meresahkan, oleh karena pihak-pihak seperti: kepala sekolah, guru mata ujian, orang tua dan bahkan pengelola pendidikan (dinas pendidikan kabupaten/kota) akan juga bertanggung jawab atas hasil UN. Keresahan juga terasa di kota Solo. Disdikpora Solo melakukan penjagaan ketat proses distribusi soal UN dengan melibatkan Kemenag, pengawas sekolah dan kepolisian. Keterlibatan tersebut dilakukan untuk menjamin naskah soal UN dari kebocoran dan kerusakan (Solopos, 12/4/2011).

Keresahan lain yang ingin dicapai adalah peserta UN ditarget lulus 100 %. Jika tidak tercapai maka, logika instan bisa dilakukan dengan upaya tambal sulam (dan mendongkrak) nilai ujian sekolah sebagai indikator nilai kelulusan UN. Lantas, apakah upaya-upaya manipulatif rasional itu yang ingin dicapai dalam UN? Lalu, dimanakah posisi pendidikan karakter (character building) dalam grand design pendidikan Indonesia? Beranikah pihak-pihak tersebut mengedepankan kejujuran dengan menerima aib, reputasi buruk jika banyak jumlah peserta UN yang tidak lulus?

Pendidikan Karakter dan UN
Selama ini pendidikan kita harus diakui masih terjebak pada pandangan dan praktek yang kurang membangun ruang pembelajaran yang bisa memperkaya nilai-nilai kejujuran. Dengan demikian, sistem dan praktek pendidikan karakter di negeri kita tidak gampang terlaksana.

Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character (1991) menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Dalam konteks UN, gagasan Lickona menekankan pada bentuk karakter untuk mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakini benar, bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Dari sini, UN dimengerti sebagai sarana untuk mengukur dan menerapkan kejujuran.

Pertautan antara otak dan watak sangat penting diterapkan dalam UN. Kemampuan otak mesti diimbangi dengan kejujuran sebagai bagian dari watak. Adalah benar bahwa otak dan watak yang benar menjadi prasyarat bagi tindakan kejujuran. Tidak seorang pun yang dapat bertindak atas dasar prinsip moral dan jujur atau aturan tanpa terlebih dahulu memiliki kesadaran tentang hal itu.

UN adalah saat yang baik untuk siswa, kepala sekolah, guru, orang tua dan dinas pendidikan untuk menampilkan “kinclong”-nya jati diri mereka. Kepintaran dan kepiawaian mengerjakan soal, kinerja para guru dan kepala sekolah, motivasi orang tua, tindak monitoring dan supervisi dinas pendidikan tidak lantas menjadikan UN bebas dari masalah. Maka, setiap pribadi perlu meninjau kembali personal truth-nya, yakni menempatkan UN tidak hanya sekedar ujian untuk mengukur prestasi akademis, tetapi juga untuk mengukur kejujuran. Bisakah kita mewujudkannya?
Lihat Detail

SEMUA BUTUH PERJUANGAN

SEMUA BUTUH PERJUANGAN

Jer Basuki Mawa Beya!

Segala keberhasilan membutuhkan “biaya”!

Sebuah pepatah jawa yang ingin menyampaikan bahwa setiap keberhasilan memerlukan “biaya”: perjuangan dan usaha.

Seorang atlet untuk menjadi juara olimpiade memerlukan usaha.

Seorang pendaki untuk menaklukan puncak gunung pun memerlukan perjuangan.

Segala sesuatunya membutuhkan usaha dan perjuangan. Tak terkecuali kita yang sebentar lagi akan menghadapi “pesta pelajar” yakni Ujian Nasional. Untuk menggapai keberhasilan-kelulusan- kita harus menebusnya dengan perjuangan, dengan menyingsingkan lengan baju, menguras tenaga serta meneteskan peluh dan keringat kita.

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Detik-detik ujian nasional telah tiba. Tidak ada pihan lain bagi kita selain menang!

Mampu lulus dengan meraih nilai yang baik. Kelulusan jelas menjadi dambaan setiap pelajar Indonesia. Sebab memang kelulusan telah menjadi salah satu tolok ukur kualitas para pelajar.

Namun, menjadi tak mulia, apabila kelulusan menjadi tujuan utama sementara segala proses di dalamnya dilupakan. Perlu kita sadari bahwa orientasi pelaksanaan ujian nasional salah satunya adalah sebagai tolok ukur kualitas pembelajaran kita, yang di dalamnya tidak hanya berhenti pada nilai-nilai numerik. Jauh dibalik nilai-nilai itu sesungguhnya ada nilai-nilai lain yang lebih mulia, yang juga patut diperjuangkan. Kita menyebutnya sebagai nilai-nilai kehidupan.

Di balik hasil ujian nasional itu ada keringat, dan tetes air mata sebagai tebusan kelulusan. Inilah yang sudah selayaknya kita perjuangkan sebagai generasi penerus bangsa. Mengusahakan keberhasilan melalui perjuangan.

Kita perlu merefleksikan kembali pepatah berikut: non scholae sed vitae discimus. Kita belajar bukan hanya mengejar nilai-nilai akademis, melainkan kita belajar untuk hidup. Dari ujian nasional kita sesungguhnya bisa belajar nilai-nilai kehidupan, di antaranya kerja keras dan tanggung jawab. Inilah substansi yang tidak kalah penting dibandingkan nilai-nilai akademis yang kita perjuangkan dalam UN.

No

Propinsi

Jumlah

Peserta

Tidak Lulus

%

1

Nanggroe Aceh Darussalam

35,036

1,417

4.04

2

DKI Jakarta

24.455

577

2,36

3

Jawa Timur

84.477

2.283

2,7

4

Bali

11.074

1

0,01

5

Papua

5.178

430

8,3

Sumber: Laporan Hasil dan Statistik Nilai Ujian Nasional Tahun Pelajaran 208/2009 PUSPENDIK – BSNP

Dari laporan hasil ujian nasional beberapa daerah di Indonesia tahun 2009, kita boleh memiliki paradigma bahwa provinsi yang memiliki presentase kelulusan tertinggi dan dengan presentase ketidaklulusan terendah telah berhasil menyelenggarakan pendidikan bagi para pelajarnya. Ya, apabila memang benar-benar diperjuangkan melalui jalan yang seyogyanya.

Namun hal ini menjadi tidak luhur lagi, apabila sesungguhnya hasil yang ada ini lahir bukan dari usaha, tetes keringat dan perjuangan para pelajarnya melainkan dari ketidakjujuran; dari hasil contek-menyontek, meng-copy jawaban peserta lain, atau lebih ekstrem hasil kong-kalikong antara pihak sekolah dengan pihak-pihak terkait.

Apabila tujuan akhirnya hanyalah untuk nilai, sementara serangkaian proses di dalamnya “pura-pura” dilupakan, jelas hasilnya pun tidak menjadi ideal sebagaimana yang dicita-citakan para pembangun bangsa.

Apabila mulai dari hal kecil saja sudah tidak jujur apalagi dengan hal besar? Apabila sejak kecil sudah tidak jujur, bagaimana saat kita dewasa nanti? Meneruskan yang dilakukan koruptor? Atau plagiator?

Memandang Secara Bijak

Nilai memanglah penting. Kelulusan jelas merupakan target realistis yang wajib kita raih dan patut kita perjuangkan. Namun, bukan dari KETIDAKJUJURAN, melainkan yang lahir dari hasil usaha, kerja keras, komitmen dan tanggungjawab yang kita songsong dalam nuansa kejujuran. Inilah yang juga patut kita perjuangkan.

Kelulusan jelas tujuan kita bersama. Namun, kejujuran adalah harga mati seorang pelajar yang bijak!

Lihat Detail
 
Copyright © 2014. BukaBaju Template - Design: Gusti Adnyana