Pesan Produk Sekarang

Memfilter Budaya, Membudayakan Filtering 

(Refleksi Kultural tentang Pengaruh Budaya Korea di Indonesia)




I. PENDAHULUAN 

Derasnya arus globalisasi berdampak bagi dimensi-dimensi kehidupan manusia. Fenomena global tersebut seakan merupakan hal ihwal yang tak terhindarkan. Timbul konsekuensi-konsekuensi logis dan psikologis bagi hubungan intersubjektivitas, bahkan inter-state. Dalam fenomen itu, dimensi ekonomi, sosial, politik, dan terutama budaya bisa jadi tercampur-baur, sehingga memunculkan pertanyaan kultural, adakah budaya asli dari suatu negara-bangsa? Kalau pun ada, budaya tersebut terkadang membawa pada percampuran dan perpaduan antar etnis satu dengan yang lainnya, yang bisa jadi memiliki kemiripan dengan negara-negara tetangnya. Misalnya, etnis Melayu di Riau memiliki tautan budaya dengan etnis Melayu di Malaysia. 

Pola gaya hidup modernitas dalam budaya kontemporer pun menjadi kajian menarik, misalnya kebiasaan berbusana kaum remaja yang didominasi budaya Korea. Momen ini membuat para remaja tersebut didera “budaya ikut-ikutan” pada tren, dan ini juga yang mengakibatkan sakit budaya. Dampak inilah dibawa oleh globalisasi, yang berarti proses masuk dan meluasnya pengaruh dari suatu wilayah/negara ke wilayah/negara lain dan atau proses masuknya suatu negara dalam pergaulan dunia yang sebelumnya terbatas jangkauannya menjadi tidak terbatas pada suatu negara (borderless). Globalisasi masuk dalam budaya melalui media TV dan internet. 

Tulisan ini akan mencoba mengkaji hubungan komparatif antara budaya Korea dan budaya Indonesia. Dari pemahaman ini, penulis akan menjadikan objek materi tulisan ini adalah budaya Korea dan objek formalnya yaitu filsafat kebudayaan. Maka, ada tiga bahasan yang akan penulis jawab, (1). Bagaimana budaya Korea dan perkembangannya hingga sampai ke Indonesia? (2). Apa itu budaya filtering itu apa? Pada bagian ini, penulis akan berupaya menjelaskan upaya manusia Indonesia (pribumi) memfilter budaya asing? (3). Bagian penutup akan menjelaskan sari-sari pengetahuan tentang pentingnya budaya Indonesia dan kemampuan bangsa untuk memfilter budaya asing. 

II. PEMBAHASAN

Pada bab kedua ini, penulis akan membahas tentang perkembangan budaya Korea. Hal menarik dari budaya Korea adalah kemampuan mereka sebagai entitas bangsa yang terus-menerus bertahan dalam situasi chaotic baik disebabkan karena penjajahan Jepang ataupun oleh pemisahan daratan Korea menjadi dua bagian, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Untuk itu, pembahasan pada bab ini adalah Korea Selatan yang akan menjadi core pemikiran penulis, dan kemudian penulis akan mencoba melakukan tafsir dengan pendekatan filsafat kebudayaan. 

2.1. Budaya Korea dan Perkembangannya hingga sampai ke Indonesia
Prof. Joko Suryo, seorang sejarawan Indonesia, dalam kata pengantarnya dalam buku “Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer” (2003) menuliskan, 

“Korea sebuah negara kecil yang terpencil di bagian utara Asia Timur, tidak banyak dikenal Indonesia sampai awal tahun 70-an lalu. Akan tetapi, dalam waktu tiga dasawarsa belakangan ini, negara yang tidak terlalu luas wilayahnya tersebut dengan jumlah penduduknya yang cukup banyak dan sama sekali tidak memiliki sumber-sumber alam yang penting ini, tiba-tiba tampil sebagai salah satu negara penting di mata masyarakat Indonesia.”  

Joko Suryo memberikan tautan yang cukup erat antara Korea dan Indonesia dalam tinjauan ekonomi dan politik-diplomatik internasional. “Hubungan perdagangan antara Indonesia-Korea”, demikian tulis Joko Suryo, “ditandai dengan posisi masing-masing negara yang menjadi salah satu negara terpenting ke-5 di bidang perdaganagan”.  Sedangkan dalam bidang politik-diplomatik, Indonesia memiliki peran dalam proses reunifikasi Korea. 

Sejak kemerdekaannya yang kurang lebih 60 tahun terakhir ini, Republik Korea berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan memberi kesempatan untuk menjadi negara maju. Berkat keberhasilannya dalam mengembangkan perindustrian nasional, Republik Korea berhasil menduduki urutan ke-11 sebagai negara perdagangan terbesar di dunia.  Kemajuan tersebut mendorong kebudayaan Korea untuk berkembang menjadi kebudayaan internasional. Bidang pendidikan terus ditingkatkan dengan didasarkan pada pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Olimpiade Seoul 1988 dan Piala Dunia tahun 2002 merupakan kesempatan yang sangat baik bagi bangsa Korea untuk menunjukkan kemampuan seni budayanya kepada dunia internasional. 

Dari hubungan kedua negara ini muncul pertanyaan, mengapa negara Korea bisa lebih bertumbuh (maju) dibandingkan dengan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga alasan, pertama adanya pemacuan rencana pengembangan ekonomi. dengan penyebaran gerakan Sae-maul  dan ekspansi perusahaan serta pertumbuhan masyarakat Korea di luar negeri. Kedua, peningkatan pendidikan nasional. Hal ini ditandai dengan angka rasio buta huruf yang tercatat hampir 0 (nol) persen. Selain itu, di Korea dikembangkan penelitian ilmiah khusunya dalam bidang ilmu bahasa Korea, kesusasteraan dan sejarah Korea. 

Modus ilmiah dalam pendidikan yang dilakukan bangsa Korea adalah melakukan mimesis (peniruan) ilmu pada bangsa Barat. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah pelajar Korea pergi ke luar negeri untuk studi, dan setelah kembali ke tanah Korea, mereka membawa teori ilmiah yang baru dan pengetahuan mutakhir untuk membangun bangsanya.  

Alasan ketiga, aktivitas kegiatan keagamaan dan kesenian. Sistem demokrasi Korea Selatan menjamin kebebasan beragama dan aktivitas seni budaya. Sebagai salah satu contoh dalam bidang kebudayaan, bangsa Korea sangat tertarik pada kesusasteraan, lukisan, musik, arsitektur, dan kecintaan pada bahasa Korea. Kebudayaan inilah yang menjadi titik penting bangsa Korea dalam menghembuskan pengaruh budaya yang dibawa lewat globalisasi dan modernitas bagi Indonesia, termasuk gaya ataupun pola hidupnya.

Menurut pengamatan penulis, negara Korea bisa mengembangkan budayanya adalah dengan proses menemukan kembali akar-akar kebudayaannya, yaitu bahasa. Selain itu, mereka mengembangkan local genius dalam orientasi keterbukaan ke luar, outward looking philosophy, yaitu yang diarahkan kepada dunia serta masyarakat luar dan merealisasikan orientasi itu dalam bentuk kerja keras dan tekun sehingga terwujud secara riil dalam produksi. 

Di samping itu, orientasi ke luar dengan disiplin kerja yang tinggi itu diperkuat dengan nilai dasar kebersamaan yang kuat dalam tradisi mereka sehingga proses modernisasi yang mereka lakukan didukung oleh masyarakat banyak dalam bentuk solidaritas serta partisipasi nasional. 

2.2. Budaya Filtering

Derasnya pengaruh budaya Korea bagi masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja jelas membawa keprihatinan, fenomen hallyu, misalnya terasa tidak asing lagi bagi para penikmat K-Pop (budaya populer asal Korea Selatan). Hallyu atau gelombang budaya dari Korea Selatan (dalam tulisan ini selanjutnya disebut Korea saja) sangat terasa di kehidupan generasi muda saat ini. Anak muda di negeri ini seakan terhipnotis oleh K-Pop. Secara instan menjamur boyband dan girlband Indonesia di panggung-panggung hiburan. 

Salah satu bukti anak muda Indonesia terjangkit K-Pop, dengan dibanjirinya antrean penjualan tiket konser boyband asal Korea, Super Junior, oleh anak muda kita yang dikabarkan tiket sudah ludes terjual.  Lidah para remaja lincah melafalkan bahasa Korea dari setiap lirik lagu K-Pop. Akibatnya banyak remaja berminat belajar bahasa Korea secara intensif. Fashion dan penampilan gaya Korea memiliki banyak pengikut di Indonesia. Gelombang Korea di Indonesia diawali masuknya berbagai drama Korea di layar televisi tiap rumah tangga. Namun, yang paling terasa ledakannya adalah keberadaan boyband dan girlband Korea yang mampu meneguhkan budaya mereka bersama arus globalisasi. 

Untuk merespon fenomen di atas, apa yang bisa kita lakukan? Upaya yang bisa kita lakukan adalah melakukan budaya filtering. Budaya filtering yang dimaksud adalah kemampuan kognitif manusia Indonesia untuk menyaring nilai-nilai dari budaya yang masuk dan dominan mempengaruhi cara hidup suatu bangsa. 

Penulis merasa bahwa ide budaya filtering tidak cukup, karena mesti pula dibarengi dengan pernyataan kultural yakni “Memfilter Budaya, Membudayakan Filtering”. Ada dua bagian yang bisa dijelaskan dari pernyataan tersebut, pertama perihal “memfilter budaya” dan kedua, “membudayakan (tepatnya, sistem) filtering”. Memfilter budaya adalah upaya yang dilakukan bangsa (dengan segenap diri pribadi) untuk menyaring budaya lewat menepakan sistem pendidikan berbasis kritisisme. Kata kritisisme bukan bermakna negatif tapi, ada upaya pendidikan yang lebih mengedepankan rasio agar perilaku dan cara hidup para pelajar remaja tidak melulu ikut-ikutan tren budaya luar. 

Hal tentang “membudayakan filtering” berarti ada upaya untuk membiasakan pada bangsa untuk menerapkan sistem penyaringan budaya lewat menggali kembali kekayaan-kekayaan budaya bangsa Indonesia untuk lebih dicintai ketimbang budaya bangsa lain. Upaya ini sangat mungkin berhasil jika menggandeng pemerintah dalam tingkat praksisnya. Di tingkat kebijakan publik, misalnya pemerintah Indonesia bisa mengambil kebijakan penggunaan kain tenun bagi kaum remaja dan para pekerja Indonesia. Kekayaan budaya tenun di Indonesia bisa digerakkan dengan upaya bidang mikro ekonomi dan diterapkan dalam hidup sehari-hari bagi bangsa Indonesia. 

III. PENUTUP

Perkembangan kebudayaan sudah semestinya tidak mengasingkan manusia dari kemanusiaanya, melainkan dalam rangka meninggikan peran kemanusiaan dalam hidup manusiawi. Atau dengan kata lain, proses kebudayaan mestinya dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karenanya tidaklah relevan bila perkembangan akal budi manusia dengan perkembangan ilmu dan teknologinya justru merusak kehidupan manu.sia karena merusak kehidupan manusia berarti menyerang perkembangan kebudayaan manusia dan merendahkan harkat dan martabat manusia yang semestinya bersifat menjadikan manusia lebih bersifat manusiawi.

Daftar Pustaka


Ayatrohaedi (penyunting). 1986. “Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius)”. Jakarta: Pustaka Jaya

Seung-Yoon, Yang dan Nur Aini Setiawati. 2003. “Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer”. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Tiyas Nur Haryani. 2012. “Hallu Menantang Indonesia” di laman http://www.solopos.com/2012/kolom/hallyu-menantang-indonesia-177477 diakses 4/11/2012

Harian Solopos pada edisi 7/4/2012

Koleksi Produk Lainnya :

 
Copyright © 2014. BukaBaju Template - Design: Gusti Adnyana