Pesan Produk Sekarang

ORANG MUDA DAN SENIOKRASI

Provokasi Mengapa Yang Muda Sulit Eksis?


Oleh: Andri F Gultom* 

Untuk memulai memahami wacana mengenai persinggungan antara orang muda dan seniokrasi, agaknya kita akan menemui penelusuran yang relatif sulit. Dikatakan relatif sulit, oleh karena pertama, berawal dari kesalahpahaman yang berlarut-larut dalam warisan pedagogi paternalistik. Kedua, pengukuhan stereotyping para pelaku seniokrasi (sebut saja senior) terhadap orang muda (yang dianggap junior) yang tidak seimbang. Untuk itu, ijinkan saya menjelaskan secara sederhana apa itu seniokrasi. 

Seniokrasi adalah kekuasaan yang agaknya tampak jelas dalam pola struktural hierarkis. Para pelakunya bisa disebut dengan istilah: senior, tuan, yang tua, atasan, dan sebagainya. Para senior tersebut bisa menampakkan wujud kuasanya dengan sangat halus (dan bisa pula kasar) untuk meng-counter orang-orang muda karena dianggap rival yang bakal menggeser posisi “kursi” mereka. Dalam pandangan tersebut, para senior adalah aktor-aktor yang mendramatisir situasi dengan berhasrat membelokkan rel kuasa ke dalam koridor primordial suku, agama, clan, warna kulit, golongan, dan sebagainya. Situasi ini, kalau terus dirawat, entah sampai kapan bangsa ini akan maju. Imperialisme bisa jadi mewariskan pola seniokrasi. Memahami dan merasakan seniokrasi ibarat memasuki sumur hasrat tanpa dasar. 

Tuan senior merasa bertanggung jawab mengajar apa arti hidup bagi orang-orang muda. Maklum aja, katanya, mereka adalah orang-orang yang sudah banyak “makan garam” kehidupan. Berbarengan dengan itu, muncul pula adagium narsistik, “Yang tualah yang bisa.” Padahal kita sekarang hidup di alamnya demokrasi. Mestinya kita memperlakukan sama semua warga negara, baik orang muda, setengah tua, maupun golongan tua di muka hukum, pendidikan, dan sosial. Tetapi karena kita tetap menjunjung tinggi budaya leluhur yang jelas-jelas feodal, otoriter, etatik, kastaistik, dan sentripetal, maka demokrasi hanya menjadi ”pemanis bibir” yang isi sesungguhnya berakar pada ajaran lama. 

Deadlock 
Sampai di sini, saya perlu mengajukan pertanyaan, mengapa orang muda menjadi komoditas kecurigaan yang perlu diwaspadai para senior? Jawaban yang mungkin yaitu karena, para senior mengukuhkan stereotyping terhadap orang muda dengan tidak seimbang. Mereka mengukuhkan citra dominan kekuasaan atau tirani senioritas atas orang muda khususnya dalam birokrasi dan dunia kerja. Unsur senioritas pada akhirnya menjadi latar untuk meminggirkan orang-orang muda. Dalam konteks ini, istilah “orang muda” yang saya maksud adalah mereka yang tidak menggunakan mental menerabas, tetapi intelek sekaligus santun, berpikir idealis, berjiwa survival, dan berprestasi. Di sinilah posisi orang muda sebagai entitas sosial mengalami deadlock dengan seniokrasi. 

Seniokrasi seakan berfungsi menjadi tirai yang menghalangi pengetahuan dan kesadaran akan kemampuan orang muda. Tirai ini terkuak dan terlampaui dalam suatu pengalaman traumatis yang menghasilkan kesadaran lewat sikap merendahkan. Si tua menganggap si muda kurang mampu, karena minim pengalaman. Sedangkan, si muda melihat si tua sudah tak mampu, karena dimakan usia. Kesadaran ini bersama-sama menjadi kesadaran rivalistis. Sama-sama berperan antagonis. Keduanya deadlock yang artinya menemukan konfrontasi bersama dalam kenyataan, berupaya menang dan saling mencurigai yang nantinya, dalam istilah filsafat, berujung pada satu entitas yakni keterasingan (alienasi). 

Orang muda teralienasi di hadapan seniokrasi. Titik persinggungan terpentingnya di sini adalah bagaimana memahami entitas orang muda dan senior, atau lebih tepatnya antagonisme yang mendefinisikan relasi antara kedua entitas tersebut untuk merealisasikan kepenuhannya masing-masing. Kepenuhan dalam pandangan orang muda dipahami lewat identitas yang tidak hilang yang bisa dijelaskan dengan tidak meninggalkan budaya kritis logis walaupun mereka berkiblat pada arus Barat. Mereka sesekali makan burger di McDonals, tetapi juga menonton wayang kulit, berdiskusi ihwal nasionalisme di angkringan, dan mungkin juga mendengarkan musik dangdut. Mereka menonton film-film produksi Hollywood, tetapi juga menonton film Life is Beautiful yang mengambil latar Italia di bawah kekuasan pemerintah fasis Mussolini, atau juga terinspirasi pada perjuangan revolusioner Che Guevara. Singkatnya, mereka larut, tapi tidak hanyut! 

Dalam domain alienasi, pemahaman senior terhadap orang muda adalah sebuah kegagalan dalam mentransfer kemungkinan prestasi melampaui usia. Akar masalahnya, para senior (yang tua) adalah konstruksi atau bentukan yang terjadi dalam warisan pedagodi paternalistik. Maksudnya, yang tua mewariskan ajaran tradisional bahwa yang muda harus hormat sekaligus tunduk pada orang yang lebih tua. Sederhananya, warisan ke-bapak-an membentuk pemahaman kaku yang menunjuk pada operasi relasi sosial. Padahal, pemahaman ini sudah anakronistik atau ketinggalan zaman. Dalam filsafat pendidikan, dengan belajar dan bersosialisasi, orang muda dapat berpartisipasi aktif dan mampu melakukan kritik atas ajaran ajaran lama yang diwariskan. Leviathan Bergerombol Seniokrasi, kalau boleh saya menganalogikannya, seperti “Pack Leviathan” (Leviathan bergerombol). Mereka bergerombol, bergotong royong, dan rela meng-kloning Leviathan, sosok rekaan Thomas Hobbes untuk membumikan gagasan-gagasan haus kuasa, yang istilah diperhalusnya, “demi kemajuan kita.” Pantas saja, kalau pelaku-pelaku seniokrasi menyuarakan budaya lama yang itu-itu juga. Orang sana bilang, “The old wine in the new bottle,” anggur tua di botol baru. 

Bagaimana bisa keluar dari pandangan seniokrasi? Salah satu jawaban ialah meritokrasi. Meritokrasi merupakan sistem yang mengandalkan prestasi (merit), keandalan kinerja, dan potensi insani dengan memuliakan ragam inteligensi manusia. Meritokrasi tidak bisa mengandalkan pada keturunan seperti dalam aristokrasi; tidak juga pada kekayaan bawaan seperti dalam plutokrasi; ataupun pada kemapanan usia dalam seniokrasi. Jadi, meritokrasi adalah solusi atas kelembaman kepemimpinan guna meningkatkan daya saing bangsa. Maka, keberadaan orang muda dalam dunia kerja ataupun dalam birokrasi didasarkan pada meritokrasi. 

Meritokrasi menghilangkan diskriminasi yang berdasarkan kedekatan garis keturunan, persahabatan, senioritas, kepemimpinan manipulatif, dan sebagainya. Dari sini, meritokrasi memberi ruang bagi tumbuhnya demokrasi seperti kebebasan berkreasi, kemampuan berprestasi, kinerja yang bermutu dan kompetensi bagi orang muda. Untuk mewujudkannya, diperlukan keberanian sipil (civil courage) untuk memutus siklus diskriminatif ἁla Leviathan bergerombol. Keberanian sipil adalah keberanian semua orang muda untuk menyuarakan kebenaran dengan berpikir kritis dan bertindak logis terhadap segala bentuk praktek kuasa yang salah di Indonesia. Memang awalnya kebenaran itu menyakitkan. Akan tetapi kebenaran memiliki kekuatan yang membebaskan. Hai, orang muda beranikah kita? 


*Guru SMAN 8 Surakarta dan Peminat Filsafat Pendidikan


(Ilustrasi gambar dari nathannothinsez.blogspot.com)

Koleksi Produk Lainnya :

 
Copyright © 2014. BukaBaju Template - Design: Gusti Adnyana